Monday 31 October 2016

Dinamika Kerakyatan di Kampus Kerakyatan



Adalah suatu kebanggaan menjadi mahasiswa di Universitas Gadjah Mada, atau rakyat lebih sering menyebutnya “UGM”. Sebagai mahasiswa yang terbilang baru, saya meyakini bahwa Universitas ini konon didirkian atas semangat perjuangan rakyat, Bahkan, saat kegiatan Pelatihan Pembelajar Suksek Mahasiswa Baru (PPSMB), sering dielu-elukan ditelinga saya bahwa UGM adalah Universitas Kerakyatan. Cita-cita UGM seperti yang tercantum dalam Statuta UGM bahkan diakui dan dihormati oleh pemerintah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1950. Salah satu pasalnya, yaitu Pasal 3 menyebutkan cita-cita UGM adalah untuk:
(1) Membentuk manusia susila yang cakap dan mempunjai keinsjafan bertanggungjawab tentang kesejahteraan masjarakat Indonesia khususnja dan dunia umumnya untuk berdiri pribadi dalam mengusahakan ilmu pengetahuan dan memangku djabatan Negeri atau pekerdjaan masyarakat yang membutuhkan didikan dan pengajaran berilmu pengetahuan; (2) Mengusahakan dan memajukan ilmu pengetahuan; dan (3) menjelenggarakan usaha membangun, memelihara dan mengembangkan hidup karena kemasyarakatan dan kebudayaan.



Dapat kita terjemahkan UGM didirikan dari, oleh dan untuk rakyat sehingga sampai kapan pun UGM memiliki tanggung jawab secara moril untuk memberikan kontribusi yang nyata bagi pengembangan dan pencerdasan kehidupan rakyat. Tidak hanya di Yogyakarta bahkan di Indonesia. (Aiwoy, 2012)
Waktu memang terus berputar menuju hari baru. Waktulah yang telah mengahpus euphoria saya sebagai mahasiswa baru di Kampus Kerakyatan. Saya pun mulai berpikir kritis mengenai slogan “Kampus Kerakyatan”, sejauh mana slogan tersebut tampak nyata dan tak kasat mata.
Yang saya soroti kali ini adalah mengenai Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang diberlakukan oleh pihak rektorat kepada mahasiswa yang saya rasa ini “tidak merakyat”.
Berikut ini adalah tabel penggolongan dan nominal UKT UGM :





                                                              Sumber : http://um.ugm.ac.id












                                                                     Sumber : http://um.ugm.ac.id

Menurut web um.ugm.ac.id, Uang Kuliah Tunggal (UKT) merupakan biaya kuliah yang ditanggung oleh setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. Uang Kuliah Tunggal (UKT) dibayarkan setiap awal semester. Kategori kelompok Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi tiap mahasiswa ditentukan berdasarkan jumlah total penghasilan kotor ayah dan ibu ditambah penghasilan tambahan ayah dan ibu (jika ada).
Kita ambil contoh UKT golongan V program studi S1 Kedokteran Hewan. Tercantum bahwa nominal yang harus dibayarkan tiap awal semester adalah Rp. 8.000.000,-. Coba kita perhatikan range penggolongan UKT golongan V, yaitu total gaji orang tua Rp. 5.000.000 – Rp. 10.000.000. menurut saya range tersebut terlalu jauh, tidak seperti range di UKT selain golongan V. Saya pun mencoba melakukan survey lisan ke teman teman saya di Fakultas Kedokteran Hewan angkatan 2016. Hampir 65% teman saya diharuskan membayar UKT golongan V. Padahal, tidak semua gaji orang tua mereka mencapai Rp. 8.000.000 atau lebih. Bahkan yang total gaji orang tuanya hanya Rp. 5.000.000, sudah digolongkan ke UKT golongan V. Yang lebih parah lagi adalah, teman saya yang berasal dari Malaysia, diharuskan membayar UKT sebesar Rp. 50.000.000 dengan alasan, dia adalah mahasiswa internasional.
Saya rasa, penggolongan UKT yang seperti ini terasa memberatkan. Seakan, ini adalah bentuk “Mencurangi Rakyat Secara Ekonomis”. Memang, mahasiswa dan orang tua mahasiswa yang merasa keberatan mengenai UKT, bisa mengajukan penyesuian UKT, supaya UKTnya diturunkan. Tetapi, realita yang ada adalah, persyaratan yang harus dipenuhi terlalu bertele tele, dan tidak semua penyesuaian disetujui. Selain itu, yang disayangkan pula tidak pernah ada transparansi penggelolaan UKT oleh Universitas kepada mahasiswa dan orang tua mahasiswa.
Jika kita menilik kembali ke konsep kerakyatan, Aspirasi rakyat menjadi pangkal tolak penyusunan kesepakatan bersama dengan cara musyawarah/perwakilan (Tjiptabudy, 2010). Namun pada kenyataannya, penggolongan UKT tidak pernah melibatkan  rakyat (dalam konteks mahasiswa dan orang tua mahasiswa) untuk mewujudkan formulasi biaya kuliah “Yang Merakyat”.  Selain dituntut untuk membayar UKT tiap awal semester, mahasiswa juga harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk keperluan akademik. Sebagai contoh, di Fakultas Kedokteran Hewan, mereka harus mengeluarkan biaya untuk mengikuti inhal praktikum. Entah itu untuk membeli preparat ataupun untuk membuat laporan praktikum. Yang saya heran, apakah membayar UKT sebesar Rp. 8.000.000 tidak cukup untuk menggratiskan biaya praktikum inhal? Hal tersebut juga tidak pernah ada transparansinya. Saya setuju terhadap Kurniawan (2015), saat ini slogan kampus UGM adalah “Orang miskin dilarang masuk UGM”, Saya menjadi sedikit kecewa ketika mengetahui fakta di lapangan bahwa kampus ini sekarang tak lagi ramah dengan yang namanya Kerakyatan, kampus ini sekarang lebih memilih untuk beramah-tamah dengan para kapitalis semakin menindas rakyat hari ini. Mereka mencekik dan membuang mereka yang sebenarnya memiliki kwalitas tapi tak memiliki biaya dan mereka lebih memilih orang-orang bodoh yang berperisai modal besar.
Pada hakektnya, menjadi mahasiswa adalah sebuah “Hak”. Jika selama ini mahasiswa dan orang tuanya hanya dianggap sebagai “Objek” Perguruan Tinggi, mau jadi apa rakyat kelak? Saya percaya UGM tetap menjadi Kampus Kerakyatan. Namun, saya melihat baik pihak rektorat maupun dekanat seakan “menutup telinga” mereka dari suara rakyat.

Friday 23 September 2016

Menggali Jati Diri UGM sebagai Wujud Bhineka Tunggal Ika

Halo sobat blogger! Apa yang terlintas dalam benak Anda ketika mendengar kata "UGM"? Apa yang Anda rasakan ketika mengetahui bahwa keluarga, tetangga, kerabat atau bahkan Anda sendiri menjadi civitas akademika di Universitas Gadjah Mada? Sepatutnya kita mampu merasa "Bangga". Banyak harapan masyarakat Indonesia kepada UGM untuk menghasilkan ilmuwan maupun cendikia yang mampu beramal untuk Indonesia khususnya, dan mampu meberikan kontribusi kebaikan untuk dunia. Maka tidak asing lagi, jikalau dari Sabang hingga Merauke banyak orang yang menimba ilmu di UGM.

UGM sebagai Universitas Pancasila terbukti dalam sejarah. Hal ini bisa dilihat dalam pidato-pidato Prof. Sardjito (Rektor UGM pertama) dalam laporan-laproan tahunannya selalu menegaskan bahwa landasan penyelenggaraan UGM adalah Pancasila dan Kebudayaan Indonesia. Tokoh UGM yang paling berjasa dalam pengembangkan Pancasila adalah Prof. Notonagoro. Salah satu hasil karyanya adalah menulis buku tentang kajian ilmiah dan filsafat Pancasila (3 seri). Oleh karena itu, Prof. Notonagoro ditunjuk menjadi promotor Presiden Soekarno ketika mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa bidang Hukum Pancasila dari UGM tanggal 19 Desember 1951. UGM juga mempelopori kegiatan Studium Genarale yang berintikan penanaman dan pengembangan jiwa (indoktrinasi) Pancasila. Pengerahan Tenaga Mahasiswa di Payakumbuh Tahun 1955 28 Model studium generale ini akhirnya dicontoh oleh perguruan tinggi lainnya sampai sekarang. Komitmen dan pembelaan UGM terhadap Pancasila ditunjukan pula dengan menggelar Orasi Ilmiah tentang pentingnya pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, pada peringatan Seperempat Abad UGM tanggal 19 Desember 1974. (Zaenudin,2014)

Melalui pernyataan tersebut, Sudah jelas jika UGM adalah universitas yang berdiri dalam rangka penerapan pancasila, dalam hal ini semboyan "Bhineka Tunggal Ika".  Hal yang perlu kita bahas di sini adalah sudah seberapa jauh UGM telah mengimplementasikan nilai kebhinekaan.

Pertama, kita sorot dari segi mahasiswa. Gadjah Mada Muda, atau yang sering disebut Gamada, adalah mahasiswa UGM yang baru diterima pada tahun ajaran tertentu.Gamada  program Sarjana dan Diploma wajib mengikuti kegiatan Pelatihan Pembelajar Sukses bagi Mahasiswa Baru (PPSMB) UGM selama enam hari.PPSMB menjadi ajang untuk berkenalan dengan dunia kampus UGM serta ajang untuk saling bertemu mahasiswa dari seluruh daerah di Indonesa maupun mahasiswa dari mancanegara. Di sinilah nilai kebhinekaan mulai diimplementasikan pada Gamada. Walau dari daerah maupun dari negara yang berbeda, mereka disatukan oleh satu almamater : UGM. Harapannya adalah, Gamada mampu mengenal dan menghargai keanekaragaman budaya, namun tetap satu perjuangan di Universitas Pancasila ini.

Kedua, kita bisa melihat dari segi akademik. salah satu mata kuliah wajib pada semester I adalah Pancasila. Pada mata kuliah tersebut, mahasiswa akan diberi materi tentang pancasila oleh dosen. Tidak hanya sebatas itu, mahasiswa juga diberi kebebasan untuk berpendapat dan berdiskusi tentang pemahaman nilai-nilai pancasila, salah satunya adalah pengamalan nilai kebhinekaan. Bahkan, mahasiswa juga diajak oleh dosen untuk berkunjung ke Museum UGM untuk lebih memahami nilai-nilai kebhinekaan UGM. UGM tidak didirikan oleh suatu golongan tertentu. Tapi UGM didirikan Rakyat dengan semangat yang "Nekat" seteahun setelah agresi militer II,yakni pada 19 Desember 1949.

Ketiga, kita bisa menemukan nilai kebhinekaan melalui penataan tanaman di UGM. Dari barat hingga ke timur tananaman di UGM ditata berdasarkan letak geografis Indonesia. Semisal di bagian barat UGM, ditanami tanaman khas Sumatra seperti Kulim dan Meranti. Kemudian menuju ke timur sedikit, ditanami tanaman khas Jawa, Bali, Lombok, dan Kalimantan seperti tanaman Sawokecik, Kenanga, dan Ulin. Lalu, di bagian tengah UGM, atau di daerah Grha Sabha Pramana dan Balairung, tumbuh berbagai macam tanaman di Indoneisa yang melambangkan kebhinekaan. Menuju ke paling timur UGM, ditanami tanaman khas Maluku dan Papua, yaitu tanaman Matoa dan Merbabu. Tujuan penataan tanaman tersebut tidak lain adalah memberikan edukasi filosofis terhadap makna Bhineka Tunggal Ika

Berdasarkan uraian di atas, penulis sangat bangga terhadap UGM yang mengajarkan implementasi dari nilai kebhinekaan. Harapan penulis adalah, UGM selalu mampu menjadi pusat studi akan Bhineka Tunggal Ika, yang mampu meningkatkan kualitas moral bangsa Indonesia.