Adalah
suatu kebanggaan menjadi mahasiswa di Universitas Gadjah Mada, atau rakyat
lebih sering menyebutnya “UGM”. Sebagai mahasiswa yang terbilang baru, saya meyakini
bahwa Universitas ini konon didirkian atas semangat perjuangan rakyat, Bahkan,
saat kegiatan Pelatihan Pembelajar Suksek Mahasiswa Baru (PPSMB), sering
dielu-elukan ditelinga saya bahwa UGM adalah Universitas Kerakyatan. Cita-cita
UGM seperti yang tercantum dalam Statuta UGM bahkan diakui dan dihormati oleh
pemerintah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1950. Salah satu
pasalnya, yaitu Pasal 3 menyebutkan cita-cita UGM adalah untuk:
(1)
Membentuk manusia susila yang cakap dan mempunjai keinsjafan bertanggungjawab
tentang kesejahteraan masjarakat Indonesia khususnja dan dunia umumnya untuk
berdiri pribadi dalam mengusahakan ilmu pengetahuan dan memangku djabatan
Negeri atau pekerdjaan masyarakat yang membutuhkan didikan dan pengajaran
berilmu pengetahuan; (2) Mengusahakan dan memajukan ilmu pengetahuan; dan (3)
menjelenggarakan usaha membangun, memelihara dan mengembangkan hidup karena
kemasyarakatan dan kebudayaan.
Dapat
kita terjemahkan UGM didirikan dari, oleh dan untuk rakyat sehingga sampai
kapan pun UGM memiliki tanggung jawab secara moril untuk memberikan kontribusi
yang nyata bagi pengembangan dan pencerdasan kehidupan rakyat. Tidak hanya di
Yogyakarta bahkan di Indonesia. (Aiwoy, 2012)
Waktu
memang terus berputar menuju hari baru. Waktulah yang telah mengahpus euphoria saya sebagai mahasiswa baru di
Kampus Kerakyatan. Saya pun mulai berpikir kritis mengenai slogan “Kampus
Kerakyatan”, sejauh mana slogan tersebut tampak nyata dan tak kasat mata.
Yang
saya soroti kali ini adalah mengenai Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang
diberlakukan oleh pihak rektorat kepada mahasiswa yang saya rasa ini “tidak
merakyat”.
Berikut
ini adalah tabel penggolongan dan nominal UKT UGM :
Sumber
: http://um.ugm.ac.id
Sumber
: http://um.ugm.ac.id
Menurut web um.ugm.ac.id, Uang Kuliah Tunggal (UKT)
merupakan biaya kuliah yang ditanggung oleh setiap mahasiswa berdasarkan
kemampuan ekonominya. Uang Kuliah Tunggal (UKT) dibayarkan setiap awal
semester. Kategori kelompok Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi tiap mahasiswa
ditentukan berdasarkan jumlah total penghasilan kotor ayah dan ibu ditambah
penghasilan tambahan ayah dan ibu (jika ada).
Kita ambil contoh UKT golongan V program studi S1
Kedokteran Hewan. Tercantum bahwa nominal yang harus dibayarkan tiap awal
semester adalah Rp. 8.000.000,-. Coba kita perhatikan range penggolongan UKT golongan V, yaitu total gaji orang tua Rp.
5.000.000 – Rp. 10.000.000. menurut saya range
tersebut terlalu jauh, tidak seperti range
di UKT selain golongan V. Saya pun mencoba melakukan survey lisan ke teman
teman saya di Fakultas Kedokteran Hewan angkatan 2016. Hampir 65% teman saya
diharuskan membayar UKT golongan V. Padahal, tidak semua gaji orang tua mereka
mencapai Rp. 8.000.000 atau lebih. Bahkan yang total gaji orang tuanya hanya
Rp. 5.000.000, sudah digolongkan ke UKT golongan V. Yang lebih parah lagi
adalah, teman saya yang berasal dari Malaysia, diharuskan membayar UKT sebesar
Rp. 50.000.000 dengan alasan, dia adalah mahasiswa internasional.
Saya rasa, penggolongan UKT yang seperti ini terasa
memberatkan. Seakan, ini adalah bentuk “Mencurangi Rakyat Secara Ekonomis”.
Memang, mahasiswa dan orang tua mahasiswa yang merasa keberatan mengenai UKT,
bisa mengajukan penyesuian UKT, supaya UKTnya diturunkan. Tetapi, realita yang
ada adalah, persyaratan yang harus dipenuhi terlalu bertele tele, dan tidak
semua penyesuaian disetujui. Selain itu, yang disayangkan pula tidak pernah ada
transparansi penggelolaan UKT oleh Universitas kepada mahasiswa dan orang tua
mahasiswa.
Jika kita menilik kembali ke konsep kerakyatan, Aspirasi
rakyat menjadi pangkal tolak penyusunan kesepakatan bersama dengan cara
musyawarah/perwakilan (Tjiptabudy, 2010). Namun pada kenyataannya, penggolongan
UKT tidak pernah melibatkan rakyat
(dalam konteks mahasiswa dan orang tua mahasiswa) untuk mewujudkan formulasi
biaya kuliah “Yang Merakyat”. Selain
dituntut untuk membayar UKT tiap awal semester, mahasiswa juga harus
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk keperluan akademik. Sebagai contoh,
di Fakultas Kedokteran Hewan, mereka harus mengeluarkan biaya untuk mengikuti inhal
praktikum. Entah itu untuk membeli preparat ataupun untuk membuat laporan
praktikum. Yang saya heran, apakah membayar UKT sebesar Rp. 8.000.000 tidak
cukup untuk menggratiskan biaya praktikum inhal? Hal tersebut juga tidak pernah
ada transparansinya. Saya setuju terhadap Kurniawan (2015), saat ini slogan
kampus UGM adalah “Orang miskin dilarang masuk UGM”, Saya menjadi sedikit
kecewa ketika mengetahui fakta di lapangan bahwa kampus ini sekarang tak lagi
ramah dengan yang namanya Kerakyatan, kampus ini sekarang lebih memilih untuk
beramah-tamah dengan para kapitalis semakin menindas rakyat hari ini. Mereka
mencekik dan membuang mereka yang sebenarnya memiliki kwalitas tapi tak memiliki
biaya dan mereka lebih memilih orang-orang bodoh yang berperisai modal besar.
Pada hakektnya, menjadi mahasiswa adalah sebuah “Hak”.
Jika selama ini mahasiswa dan orang tuanya hanya dianggap sebagai “Objek”
Perguruan Tinggi, mau jadi apa rakyat kelak? Saya percaya UGM tetap menjadi
Kampus Kerakyatan. Namun, saya melihat baik pihak rektorat maupun dekanat
seakan “menutup telinga” mereka dari suara rakyat.