Friday 23 September 2016

Menggali Jati Diri UGM sebagai Wujud Bhineka Tunggal Ika

Halo sobat blogger! Apa yang terlintas dalam benak Anda ketika mendengar kata "UGM"? Apa yang Anda rasakan ketika mengetahui bahwa keluarga, tetangga, kerabat atau bahkan Anda sendiri menjadi civitas akademika di Universitas Gadjah Mada? Sepatutnya kita mampu merasa "Bangga". Banyak harapan masyarakat Indonesia kepada UGM untuk menghasilkan ilmuwan maupun cendikia yang mampu beramal untuk Indonesia khususnya, dan mampu meberikan kontribusi kebaikan untuk dunia. Maka tidak asing lagi, jikalau dari Sabang hingga Merauke banyak orang yang menimba ilmu di UGM.

UGM sebagai Universitas Pancasila terbukti dalam sejarah. Hal ini bisa dilihat dalam pidato-pidato Prof. Sardjito (Rektor UGM pertama) dalam laporan-laproan tahunannya selalu menegaskan bahwa landasan penyelenggaraan UGM adalah Pancasila dan Kebudayaan Indonesia. Tokoh UGM yang paling berjasa dalam pengembangkan Pancasila adalah Prof. Notonagoro. Salah satu hasil karyanya adalah menulis buku tentang kajian ilmiah dan filsafat Pancasila (3 seri). Oleh karena itu, Prof. Notonagoro ditunjuk menjadi promotor Presiden Soekarno ketika mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa bidang Hukum Pancasila dari UGM tanggal 19 Desember 1951. UGM juga mempelopori kegiatan Studium Genarale yang berintikan penanaman dan pengembangan jiwa (indoktrinasi) Pancasila. Pengerahan Tenaga Mahasiswa di Payakumbuh Tahun 1955 28 Model studium generale ini akhirnya dicontoh oleh perguruan tinggi lainnya sampai sekarang. Komitmen dan pembelaan UGM terhadap Pancasila ditunjukan pula dengan menggelar Orasi Ilmiah tentang pentingnya pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, pada peringatan Seperempat Abad UGM tanggal 19 Desember 1974. (Zaenudin,2014)

Melalui pernyataan tersebut, Sudah jelas jika UGM adalah universitas yang berdiri dalam rangka penerapan pancasila, dalam hal ini semboyan "Bhineka Tunggal Ika".  Hal yang perlu kita bahas di sini adalah sudah seberapa jauh UGM telah mengimplementasikan nilai kebhinekaan.

Pertama, kita sorot dari segi mahasiswa. Gadjah Mada Muda, atau yang sering disebut Gamada, adalah mahasiswa UGM yang baru diterima pada tahun ajaran tertentu.Gamada  program Sarjana dan Diploma wajib mengikuti kegiatan Pelatihan Pembelajar Sukses bagi Mahasiswa Baru (PPSMB) UGM selama enam hari.PPSMB menjadi ajang untuk berkenalan dengan dunia kampus UGM serta ajang untuk saling bertemu mahasiswa dari seluruh daerah di Indonesa maupun mahasiswa dari mancanegara. Di sinilah nilai kebhinekaan mulai diimplementasikan pada Gamada. Walau dari daerah maupun dari negara yang berbeda, mereka disatukan oleh satu almamater : UGM. Harapannya adalah, Gamada mampu mengenal dan menghargai keanekaragaman budaya, namun tetap satu perjuangan di Universitas Pancasila ini.

Kedua, kita bisa melihat dari segi akademik. salah satu mata kuliah wajib pada semester I adalah Pancasila. Pada mata kuliah tersebut, mahasiswa akan diberi materi tentang pancasila oleh dosen. Tidak hanya sebatas itu, mahasiswa juga diberi kebebasan untuk berpendapat dan berdiskusi tentang pemahaman nilai-nilai pancasila, salah satunya adalah pengamalan nilai kebhinekaan. Bahkan, mahasiswa juga diajak oleh dosen untuk berkunjung ke Museum UGM untuk lebih memahami nilai-nilai kebhinekaan UGM. UGM tidak didirikan oleh suatu golongan tertentu. Tapi UGM didirikan Rakyat dengan semangat yang "Nekat" seteahun setelah agresi militer II,yakni pada 19 Desember 1949.

Ketiga, kita bisa menemukan nilai kebhinekaan melalui penataan tanaman di UGM. Dari barat hingga ke timur tananaman di UGM ditata berdasarkan letak geografis Indonesia. Semisal di bagian barat UGM, ditanami tanaman khas Sumatra seperti Kulim dan Meranti. Kemudian menuju ke timur sedikit, ditanami tanaman khas Jawa, Bali, Lombok, dan Kalimantan seperti tanaman Sawokecik, Kenanga, dan Ulin. Lalu, di bagian tengah UGM, atau di daerah Grha Sabha Pramana dan Balairung, tumbuh berbagai macam tanaman di Indoneisa yang melambangkan kebhinekaan. Menuju ke paling timur UGM, ditanami tanaman khas Maluku dan Papua, yaitu tanaman Matoa dan Merbabu. Tujuan penataan tanaman tersebut tidak lain adalah memberikan edukasi filosofis terhadap makna Bhineka Tunggal Ika

Berdasarkan uraian di atas, penulis sangat bangga terhadap UGM yang mengajarkan implementasi dari nilai kebhinekaan. Harapan penulis adalah, UGM selalu mampu menjadi pusat studi akan Bhineka Tunggal Ika, yang mampu meningkatkan kualitas moral bangsa Indonesia.